Rabu, 20 Juli 2011

Generation's Misunderstanding

GENERATION’S MISSUNDERSTANDING


Suasana ruangan itu sunyi, sampai seseorang yang menjadi penggangas pertemuan itu mulai angkat bicara. Beliau adalah seorang guru yang lumayan senior, umurnya juga tidak muda lagi, dan tentu seharusnya pengalaman belajar dan mengajar beliau banyak. Dan, ruangan itu penuh oleh beberapa siswa dan siswi yang duduk secara terpisah, siswinya semuanya berkerudung. Dari format mereka saja sudah terlihat, bahwa ini buka pertemuan dari orang-orang biasa. Tapi dari orang-orang yang mengkaji agamanya dengan baik, dan bisa dibilang sebuah organisasi keagamaan.
Hening, mereka cuma saling pandang. Sampai guru itu berkata,
“Salah satu agenda yang ingin Ibu bahas hari ini adalah mau dibawa organisasi keagamaan kita..”, muka semuanya berubah jadi tegang. Banyak yang memilih saling berpandang dalam diam, menunduk, ataupun berwajah tegar memandang wajah Ibu Guru tadi dengan muka yang datar.
“Ibu mendapatkan pengaduan dari orang tua murid..”, wah serius nih...masing-masing membatin dalam bahasa kalbunya, jarang-jarang sampai bawa-bawa orang tua. “Bahwa setelah mengikuti kajian keIslaman, anaknya menjadi memiliki penyimpangan perilaku....”.
Bedeeeh... kajian dari mana nih sampai bikin penyimpangan segala. Apakah NII kw 70 ?!! Atau jangan-jangan habis kajian Islam si Ikhwan tiba-tiba jadi Maho...? Atau ada akhwat yang tiba-tiba suka mencuri uang akibat cuci otak..?!! Itu kan penyimpangan sosial !? Beragam pikiran berkecamuk, sukses membebani mereka, muka jadi makin tegang dan keringat jadi makin dingin.
“Bahwa anaknya setelah mengkaji Islam berani menegur orang tuanya..”, mata yang mendengar tak berkedip, bingung mau respon apa. Loh.. Bukannya malah bagus si anak negur orang tuanya kalau salah ? Malahan artinya kajian Islamnya emang ngeresep, dan sebagai tanda kasih sayangnya, anak itu menegur orang tuanya agar tak bergelimang dalam kesalahannya ?!!
Dengan semangatnya, Guru tadi melanjutkan ceramah dan propaganda. “Kalian itu jangan sok tau !! Bagaimanapun orang tua tetap orang tua kalian !! Jangan sok berilmu !! Bagaimanapun orang yang lebih tua itu lebih berilmu, lebih banyak pengalamannya !!”.
Aduh.. ini yang salah itu siapa.. anaknya apa si orang tua sih. Dan herannya gurunya yang berilmu, lebih simpati pada orang tuanya, sehingga membela si ortu dan menyalahkan si anak ‘sok tahu’ yang habis ngaji Islam itu.
Jujur, yang terbersit dari benak ana pertama saat itu adalah, APA GURUNYA MAU BERTANGGUNGJAWAB !? Misalnya saja, orang tua si anak tadi berselingkuh atau jangan-jangan PSK, kita kan gak bisa tau ? Lalu, atas nama kasih sayang si anak yang sok tau tadi katanya menegur orang tuanya, Ia padahal tak ingin orang tuanya masuk neraka, dilaknat Allah dan lainnya. APA GURUNYA MAU BERTANGGUNGJAWAB !! Dengan membelakan si orang tua tadi, dan menyuruh anaknya diam aja lu, gak usah sok tau lu, lu cuma anak kecil, ilmu lu dikit, pengalaman lu dikit. Dan misalnya akibat pernyataan si guru tadi, anak tadi sudah manut, menyerah, dan tak lagi menegur orang tuanya. APA GURUNYA MAU BERTANGGUNGJAWAB !!! Ambil semua dosa menghalangi seseorang menyebarkan kebenaran, bahkan pada orang yang paling dia cintai di dunia ini. Padahal andai saja anak itu terus bersabar dan teguh, orang tuanya bisa saja akan berubah ?? Atau orang tuanya misalnya malas shalat, malas puasa, gak pernah ngaji, dan selalu kasar. Salahkah anak itu menegur ? Durhakakah anak itu, ingin menyelamatkan orang yang paling dicintainya dari murka Allah. Bukannya didukung oleh Guru yang berilmu agama itu, malah disalahkan, gak usah sok lu, anak kecil lu, jangan sok ada ilmunya. APA GURUNYA MAU MENGGANTIKAN AYAH ATAU IBUNYA BILA NANTI DIMINTA PERSAKSIANNYA OLEH ALLAH !?
Dan hal pertama yang ana bisa lakukan pada saat mendengar CURHAT soal itu hanyalah melantunkan Istighfar.
***
Mushala itu ramai, anak-anak yang hadir matanya berbinar dalam keantusiasan. Seorang ustadz muda, dengan gaya khasnya yang seimbang, antara humor dan ilmu yang ingin disampaikan. Menyampaikan perihal menuntut ilmu dan kebijaksanaan pada siswa-siswi yang menghadiri kajian tersebut. Ustadz itu memang sudah tinggi jam terbangnya, menghadapi remaja-remaja utamanya. Dalam kajian itu beliau menjelaskan, bahwasanya menuntut ilmu tak pernah berakhir, tak akan pernah berakhir sampai kita berada di akhir hayat. Dan jangan pernah merasa cukup pintar dan sudah pintar dalam sebuah ilmu, itu bikin futur (malas) dan merasa pintar juga bikin bodoh, karena membuat tidak lagi punya motivasi dalam belajar. Dan jangan pilih-pilah dalam menerima kebijaksanaan, bahkan terimalah kebijaksanaan dari orang yang tidak bijaksana. Terimalah larangan JANGAN MABUK dari seorang PEMABUK sekalipun, jangan liat SIAPA yang menyampaikan, tapi APA yang disampaikan.
Subhanallah.. materi itu bagus sekali, isinya disampaikan dengan penyampaian yang komunikatif dan tidak bikin ngantuk. Anak-anak keluar dengan wajah berseri-seri dan tergugah dalam banyak motivasi baru. Betapa indahnya dakwah ! Ustadz itu pun merasa puas atas performanya hari ini, berdo’a pada Allah supaya banyak yang terinspirasi. Salah seorang siswa pengurus kajian umum tadi datang pada ustadznya dengan wajah berseri-seri, dan Ia membawakan sebuah aqua gelas dan menyisipkan sebuah amplop putih pada beliau. Dengan senyuman lembutnya, Ustadz itu menjawab,
“Afwan de, Kaka lagi shaum hari ini...”, dan menengok amplop licin yang keliatannya lumayan itu.”Jangan de.. simpan aja di kas buat acara kalian, Kaka takut tidak ikhlas, tadi hanyalah sebagian kecil dari pemenuhan tanggungjawab Kaka pada Allah atas ilmu yang telah Allah berikan untuk sama-sama kita bagikan..”, jawab Ustadznya. Lalu, siswa yang tadi tak bisa menahan senyum dan kekagumannya pada sang Ustadz muda yang memang luar biasa.
Ana tak sengaja mencuri dengar pembicaraan ini, dan tak bisa menahan senyum yang terkembang. Ana hanya sedang membantu adik-adik akhwat mengorganisirkan absen, hati ana pun tak bisa berkelit dari kata Subhanallah.. Masya Allah..
“Guru-gurunya mana dik..”, tanya Ustadz itu sembari celingak-celinguk. Dan siswa tadi Cuma bisa tersenyum menunduk, sembari menjawab semampu dia,
“Lagi sibuk Kak, biasa..”. Dan Ustadznya menyambung dengan kalimat Ooh.
Tanpa sengaja mata ana dan sang ustadz yang ana kira-kira, beda umurnya di atas ana lebih dari sepuluh tahun itu bersitemu. Dan Ia tersenyum sembari menunduk sekali, tanda menegur. Mungkin Ia mengenal ana dari beberapa acara yang kami satu kepanitiaan atau beliau memateri pada acara yang ana panitiai. Ana memilih berlalu, kembali menuju kelas. Dalam perjalanan menuju kelas, ana melewati ruang guru. Sibukkah guru-guru ?! Iya, sibuk dengan obrolan pagi mereka, dan ana hanya menghela napas sambil terus berlalu.Ya Allah.. Bukakanlah hatinya..
Ana hanya terbayang-bayang, si Ikhwan tadi terpaksa sedikit berbohong karena tidak nyaman dengan Ustadznya sendiri, yang sudah rela datang jauh-jauh dalam keadaan shaum, tak mau dibayar dan memberikan tausiyah yang luar biasa. Apa yang akan terbersit di hati Ustadznya saat Ia mengatakan yang sebenarnya, bahwasanya guru-guru tidak mau mengikuti kajian umum karena umur ustadznya masih kepala dua, belum kepala tiga, apalagi kepala empat. Apa yang terbersit di hati Ustadznya, saat beliau tahu bahwa Kepala Sekolah yang tadinya sudah stand-by di mushalla KELUAR, dan memilih kembali ke ruangan beliau hanya karena satu alasan, yaitu PEMATERINYA MUDA.
Ana hanya bisa menggerutu di hati ana sendiri. Apa orang-orang tua merasa pasti masuk surga dibanding mereka yang mati muda ? Apa orang-orang tua merasa karena lebih lama hidup di dunia, maka ilmu yang mereka punya jauh lebih mumpuni dibanding yang masih muda ? Sehingga tak pantas mendengar Ilmu yang disampaikan oleh yang lebih muda ? Apakah Allah melihat dari tingkat umurnya ? Bukankah penilaian atas baik dan tidaknya hanya berdasar pada ketaqwaannya, bukan yang lain..? Apa kebanyakan yang tua sulit untuk memahami bagaimana konsep dari sebuah ketaqwaan tanpa mengenal manusia. Bahkan, bayi yang hidupnya belum sampai satu hari boleh jadi matinya lebih suci dibandingkan kematian kita semua nantinya..?
Memang pengalaman adalah guru terbaik, tapi pengalaman bukan diukur dari kapasitas kuantitas (jumlah pengalaman) tapi dari kualitas pengalaman tersebut, dan bagaimana otak serta qalbu dapat mengambil Ibroh (hikmah) dari pengalaman tersebut. Hanya pengalaman yang berkualitas seperti itulah yang mampu mendewasakan seseorang. Bahkan Rasulullah SAW yang menerima risalah Ilmu langsung dari Allah SWT saja, dulu untuk sebuah siasat perang penting mau menerima saran dan kritik dari seorang anak kecil bernama Ali ? Mengapa kita menjadi terlalu SOMBONG sehingga menutup diri kita dari sebuah amal yang tak pernah putus-putusnya, yaitu ilmu yang bermanfaat. Guru yang baik adalah guru yang tak pernah berhenti belajar, bahkan dari muridnya sendiri. Seperti Imam Maliki yang juga belajar dan menghargai Ijtihad dari Imam Syafi’i.
Setelah mengalami dan merenungi hal itu ana hanya bisa berdo’a : “Jangan adakan rasa Ujub, Sombong ada selamanya  dalam hatiku walau sebesar Zarrah pun Ya Allah..”
***
Ana teringat pernah berbincang-bincang dan diskusi banyak hal dengan seorang Ustadz yang memang kenalan baik dari salah seorang keluarga ana. Beliau orang yang punya tataran luar biasa, tak tanggung-tanggung, memiliki dua gelar bachelor (S1) dari universitas Islam bergengsi Timur Tengah, dan beliau sedang menggarap desertasi magisternya di universitas yang sama, tapi Ia ingin melakukan penelitian di negara kelahirannya, Indonesia.
Awal sebelum ana bertemu beliau, saya kira beliau adalah orang tua berjanggut yang ramah dengan sorban dan baju putih-putih . Awalnya ana ragu, apakah nyambung mencoba berdiskusi dengan beliau. Namun setelah bertemu langsung, ana bertanya-tanya, apakan mata ana sedang bermain fatamorgana ? Yang ana lihat adalah pemuda yang (ehm..) lumayan, sederhana dalam balutan baju koko coklat muda, celana hitam congklang, dan peci khas turki yang senada dengan bajunya. Orangnya nampak lebih muda dibanding abang ana sendiri, dan memang berjanggut, namun masih nampak hitam. Intinya beliau muda dan sangat-sangat bersahaja. Bahkan pecinya dilepas pada saat ana dan beberapa keluarga lain duduk di sofa, menunjukan rambutnya yang hitam. Hati ana tak bisa menahan lagi untuk berkata Subhanallah.. Masya Allah...
Keluarga ana memperkenalkan nama ana, dan mengatakan apa hubungan ana dengannya. Ia tersenyum dengan sopan dan bersahaja. Penuh rindang dan kedamaian. Ia memperkenalkan dirinya pada ana dan keluarga yang lain, menyebutkan umurnya yang memang sesuai perkiraan ana, belum kepala tiga, juga menyampaikan maksud kedatangannya yang berhubungan dengan penelitian untuk program magisternya. Ia akan tinggal sebulan kurang lebih, cuma di rumah salah seorang keluarga yang belum menikah dan tidak ada nisa’nya. Paman ana berkelakar, bahwa ana bisa belajar cara efektif mentahfidzkan Qur’an dari beliau. Beliau menanyakan apakah ana sudah mulai, dan dengan tersipu malu, karena menghadapi seorang Hafidz Qur’an yang Tajwidnya juga bikin merinding. Ana akui baru dapat dua juz, dan itu pun merasa sulit agar hafalannya tidak ke mana-mana. Ia berkata dengan bijak,
“Tak ada yang sulit dan tak mungkin dalam proses belajar..”. Tentu, ana setuju, sesuai dengan kenyataan bahwa beliau yang teramat muda mampu menyabet MUMTAZ untuk dua gelar S1 universitas ternama Timur Tengah. Pasti, beliau pun percaya atas prinsip bijaksana itu.
Kami banyak berbincang, dari fiqh, ahlaq, isu-isu hangat, sampai soal dakwah dan seluk beluknya. Jujur ana sangat nyambung dengan beliau, orangnya ramah, sopan dan lembut... sekali. Mendengarkan ana, tak pernah memotong perkataan ana, selalu meminta izin boleh ana mengatakan pendapat ana ? sebelum berkata-kata. Beda sekali dengan ana yang bagai mercon tahun baru ini. Beliau juga tidak kaku, kadang kala bercanda. Dan ana salut, Ia tetap mendengarkan apa yang ana katakan walau ana tidak punya satu pun gelar untuk dibawa bersanding dengan keilmuan beliau. Menghargai pendapat ana, dan bahkan tak segan memuji bahwa ana adalah nisa’ yang cerdas dan bercakrawala luas. Setiap ana mengungkap suatu yang baru, beliau kadang meminta boleh ukhti ajarkan yang ana tidak tahu, ana memang bodoh dan sangat kekurangan dalam ilmu.. Memang terasa agak berlebihan, namun itu adalah salah satu prinsip beliau untuk selalu memposisikan dirinya sebagai yang awam, padahal nyatanya tidak.
Sampai di suatu diskusi ana bertanya pada beliau,
“Apakah antum (beliau menolak ana panggil ustadz), dengan orang sekaliber antum, pernahkah merasakan penolakan ataupun  rasa kurang diperhatikan oleh jama’ah atau individu yang antum pernah kontak..”, Ia tersenyum dan menjawab,
“Pernah ukhti, bahkan sering.. utamanya bila di Indonesia..”, jawabnya. Ana tersentak tak menyangkan, orang seperti beliau pun pernah merasakan penolakan. Ana tak kuasa memendam penasaran,
“Mengapa ? Karena apa ?”. Ia menjawab,
“Sebenarnya karena usia ana dan kelihatan di penampilan ana..”, jawabnya, dan tersenyum lagi. Beliau benar-benar tidak pelit senyum. Ana pun langsung mengerti. Keadaan di mana banyak orang tua yang sulit menerima penceramah muda tanpa gamis dan surbannya.
“Ana lebih berhasil untuk berinteraksi dengan yang umuran seperti kita..”, lanjutnya. “Bahkan pernah ana mau diundang ceramah di sebuah MT di mesjid yang besar, melihat ana mukanya lain. Malah ada yang nanya ‘Mana Ustadznya’, dan hampir setengah jama’ah jadi pulang. Mungkin itu peringatan Allah buat saya yang sudah merasa ujub dan takabur hanya karena diundang ke sebuah mesjid besar ternama tersebut...”. Tuturnya lembut.. sekali... Sungguh, beliau tak membahas kesalahan yang realnya ada pada jama’ah, tapi mengoreksi diri beliau sendiri.
Beliau memang begitu, saat ana tanyakan, alasan berpenampilan bagai orang kebanyakan. Karena beliau sungkan dengan penampilan yang dapat membuat dirinya lebih dari orang lain. Beliau selalu mengatakan takut bahwa Ia yang tidak maksum dan suci hatinya seperti Rasulullah, Ia mungkin bisa mendapat bingkai kesombongan di hatinya. Ia juga tidak suka dipanggil ustadz dan juga tidak pernah sekalipun menuliskan gelar Haji, beliau juga kurang suka menyinggung dua gelar Lc dan mengenakannya kalau memang tidak benar-benar diperlukan. Selalu, sama urusan dan alasan. Kewara’an beliau atas semua hal, dan juga beliau tak ingin merasa pintar sehingga akan menjerumuskan beliau ke sumur kebodohan.
Banyak pelajaran yang menggetarkan yang dapat ana rasakan dari beberapa kali pertemuan dengan beliau. Tapi yang berkesan beliau pernah berkata pada ana,
“Ana salut dengan ukhti yang tidak mencari guru yang mungkin lebih tua dan pengalaman, dan mau belajar dari ana yang sedikit pengalaman ini...”, tuturnya. “Kita mungkin dekat umurnya..”. Lanjutnya, dan ana tersenyum. Memang, banyak orang yang menyangka ana terlalu dewasa karena penampilan ana yang terlalu tua untuk umur ana sebenarnya. Jelas terlihat dari hobi ana yang memakai jilbab dan kerudung warna-warna gelap. Dan, ana tersadar, ana belum pernah menyinggung soal umur ana pada beliau.
“Usia ana enam belas tahun kak...”, ucap ana dengan senyum akrab. Ana sudah menebak raut keterkejutan dari wajah beliau mengetahui umur beliau lebih tua hampir sembilan tahun dari ana, namun beliau berusaha meredam, dan balik berkata.
“Afwan Jiddan.. jadi adik masih sekolah ?”, tanyanya lagi.
“Alhamdulillah baru lulus kemaren..”, saat mendengar fakta itu, wajahnya berseri – seri, seperti menemukan hal yang tak disangka-sangkanya.
“Subhanallah..”, ucapnya dan Ia tak berkomentar lebih jauh lagi.
“Dik..”, Ia menyambung.”Mungkin problem dakwah kita akan sama nantinya, namun jangan menyerah. Kaka ingin bertemu adik lagi nanti, bila diizinkan oleh Allah, mungkin dua atau tiga tahun lagi...”. Ia menjawab. Dan ana juga igin bertemu dengan beliau lagi, tentu dalam keadaan dimana ana menjadi semakin lebih baik lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar